Minggu, 16 Desember 2012

Bahan UAS FHI Jurusan Muamalat 2012

MUHAMMAD ABED AL-JABIRI & KRITIK NALAR ARABNYA Pertemuan ke 8 MK Filsafat Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Muhammad Abed al-Jabiri? Al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko, tanggal 27 Desember 1935. Pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah kelahirannya di Maroko. Dia pernah setahun menempuh pendidkan filsafat di Universitas Damaskus, Siria (tahun 1958). Setelah itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, (1967) dan meraih gelar master dengan tesis tentang “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” (Falsafatut Târîkh ‘inda Ibn Khaldûn). Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat (1970), dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibn Khaldun, khususnya tentang Fanatisme Arab. Disertasinya berbicara tentang “Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Al-‘Ashabiyyah wad Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikhil Islâmî). Disertasi tersebut kemudian dibukukan tahun 1971. Al-Jabiri, hanya menguasai tiga bahasa: Arab (bahasa ibu), Perancis (baca dan tulis), dan Inggris (baca saja). Al-Jabiri muda adalah seroang aktivis politik berideologi sosialis yang sempat bergabung dalam partai Union Nationale des Forces Popularies (UNFP) yang kemudian berubah nama menjadi Union Sosialiste des Forces Popularies (USFP). Pada tahun 1975, dia sempat menjadi anggota biro politik USFP. Karya-karya Muhammad Abed al-Jabiri: Nahwu wa al-Turast, al-Khitab al-’Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, Naqd al-’Aql al-’Arabi (kritik akal Arab). Takwin al-’Aql al-’Arabi, Bunyah al-’Aql-al-’Arabi, al-A’ql al-Siyasi-al-’Arabi, al-’Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-’Arabi al-Mua’asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah, al-Mashru al-Nahdawi al-’Arabi Muraja’ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-’Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-‘Arabi. Sense of academic crisis Muhammad Abed al-Jabiri: Islam versus Modernitas Penjelasannya: Perang Arab-Israel pada tahun 1948, Arab mengalami kekalahan. Pada bulanJuli 1967 dimana hampir seluruh negara-negara Arab bersatu melawan Israel tapi lagi-lagi kalah. Kekalahan bangsa Arab melawan Israel yang baru berdiri dan negaranya masih sangat kecil berdampak luas dan sangat serius bagi seluruh aspek kehidupan bangsa Arab . Pada wilayah intelektual, para intelektual Arab mulai mempertanyakan turats (tradisi) dan tentunya Islam karena Arab sulit dipisahkan dengan Islam. Kelompok modernis adalah kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dll. Kelompok kedua menginginkan kembali ke tradisi, kelompok ini terbagi dua, yaitu: 1)kelompok yang menawarkan wacana reformatif. yakni mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll. 2)kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll. Mega Proyek Al-Jabiri.Kritik Nalar Arab Naqd al-Aql al-’Arabi? Kenapa al-Jabiri menggunakan istilah nalar/akal dan juga hanya membatasi dengan Arab (berbeda dgn Arkoun yang menggunakan istilah ‘Islam’). Alasan untuk yg kedua (Arab) menurut Baso, 1. karena al-Jabiri tidak punya kemampuan untuk menguasai bahasa Persia, 2. proyek KNA al-Jabiri tidak diproyeksikan untuk membangun satu “teologi” atau ilmu kalam baru. Kritik al-Jabiri adalah kritik epistemologis. Sedangkan penggunaan istilah nalar/akal , menurut Muhammad Aunul Abied Shah & Sulaiman Mappiasse, karena al-Jabiri tidak ingin terjebak dalam problem terminologis. Konsep ini menurut al-Jabiri dipengaruhi oleh Andre Lalande, yg mencetuskan dikotomi terkenal antara La raison constituante (al’aql al-mukawwin) dan La raison constitutée (al-’aql al-mukawwan) . Karena itu, al-jabiri dikritik oleh George Tharabisi. Menurut Muhammad Aunul Abied Shah & Sulaiman Mappiasse, istilah tersebut lebih pas berasal dari penulis kamus Dictionnaiere de langue philosophique. Akal Arab? ….apa yang dimaksud dengan “Akal/Nalar Arab” adalah La raison constitutée (al-’aql al-mukawwan), yakni himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang diberikan kultur Arab bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Artinya, himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang ditentukan dan dipaksakan (secara tidak sadar) sebagai episteme oleh kultur Arab. Adakah Akal/ Nalar Arab itu? Ashru al-Tadwin:Al-Jabiri mengarahkan perhatiannya—sebagai titik awal ‘sejarah pemikiran Islam”—pada periode pembakuan dan pembukuan ilmu-ilmu keislaman di abad ke-2 H. (sekitar abad 8 M) yg melatarbelakangi terbentuknya “syarat-syarat keabsahan”. Periode ini merupakan sebuah “ rekonstruksi komprehensif dalam kebudayaan” (i’adah al-bina’ al-tsaqafi al-’am). Dalam konteks ini Al-Jabiri bertitik tolak dari satu kutipan al-Dzahabi “…Pada tahun 143 H, para ulama pada masa ini mulai mengumpulkan dan membukukan hadits, fiqh dan tafsir. Di Makkah muncul Ibn Juraih yg menulis satu buku, di Madinah ada Malik yg menulis al-Muwatta’, al-Auza’i di Syam, Ibn Abi ‘Urubah, Hammad ibn Salamah dan lainnya di Bashrah, Ma’mar di Yaman, dan Sufyan al-Tsauri di Kufah. Pada masa itu pula, Ibn Ishaq menulis al-Maghazi, dan Abu Hanifah tentang fiqh dan ra’y. tidak lama berselang, muncul Husyaim, al-Laits, dan Ibn Luhay’ah, lalu Ibn al-Mubarak, Abu Yusuf, dan Ibn Wahb. Gerakan tadwin dalam sejumlah disiplin keilmuan kian meluas dan bertambah banyak. Buku-buku bahasa Arab, leksikografi dan sejarah sudah diterbitkan saat itu…padahal sebelum masa tadwin ini orang-orang hanya mengandalkan hafalan dan meriwayatkan ilum pengetahuan dari naskah-naskah yang tidak tersusun rapi”. Dari kutipan tersebut menurut al-Jabiri tampak sekali hanya memperkenalkan tradisi Sunnisme. Teks tersebut mendiamkan beberapa gerakan tadwin lainnya yg justru terjadi hampir persis di masa yg sama. Misalnya gerakan tadwin yg berlangsung di kalangan Syi’ah yang dipelopori oleh Imam Ja’far al-Shadiq (w. 148 H). Selain itu, juga mendiamkan gerakan tadwin yg berlangsung dalam disiplin keilmuan yg tidak termasuk kategori “marwiyyah”, yaitu ilmu-ilmu kalam dan ilmu-ilmu kuno pra Islam, baik berupa warisan Hellenisme, Hermetisisme maupun warisan Persia kuno. Ashru al-Takwin: ﺍﻠﻨﺹ ﺤﻀﺎﺭﺓ Peradaban yang lebih menitikberatkan pada teks. Kebenaran hanya ada dalam teks dan tidak ada kebenaran di luar teks. Bentuk pembakuannya antara lain bahasa Arab Badui, yg dianggap murni dan asli, di tangan al-Farahidi dijadikan sebagai standar absah dalam proses kodifikasi dan leksikografi. Kemudian di tangan imam asy-Syafi’i terjadi pembakuan cara-cara berfikir menyangkut hubungan antara bentuk formal l atau lafadz dan makna, dan antara bahasa dan kitab suci (fiiqh dgn metode Qiyas), kemudian di tangan al-Asy’ari terjadi pembakuan dalam bidang ilmu kalam juga dengan menggunakan metode asy-Syafi’I yaitu Qiyas. Menurut al-Jabiri tradisi (episteme) bayani tidak hanya melahirkan cara-cara dan pola-pola berpikir baku, tapi juga melahirkan sebuah pandangan dunia (world view), dan itu disebutnya “ideologi”. Produk ilmu pengetahuan tradisi bayani tdk mampu melepaskan diri dari prinsip2 dasar bahasa Arab yg merupakan warisan akal Arab Badui/Jahiliyyah, sehingga misi keilmuan yg dihasilkan tidak mampu melebarkan jangkauan dari pembebasan manusia dari alam kegelapan menuju alam ketenteraman. Episteme kedua: ﺍلعرفان ﺤﻀﺎﺭﺓ Tradisi irfani (gnostik) yaitu tradisi yang memuat prinsip dasar, konsep dan prosedur yg membangun dunia berpikir Gnostik dalam peradaban Arab. Episteme ini lebih menitikberatkan kepada makna sedangkan lafadz dijadikan cabang. Namun demikian, tradisi ini juga menggunakan akal, tapi ujung-ujungnya tidak mengakui kemampuan akal manusia. Al-Jabiri menyebutnyya dengan al-la ma’qul al-’aqli atau al-’aql al-mustaqil. Episteme ini berasal dan berkembang di Persia dan merupakan landasan perkembangan tasawuf. Episteme ketiga: ﺍﻠبرهان ﺤﻀﺎﺭﺓ Tradisi burhani secara ideologis (sbg world view), ia berpihak pada rasionalisme bayani yang bersumber pada world view al-Qur’an, namun ia mengkritik aspek epistemologis nalar bayani yg menjadikan pemikiran atau kegiatan bernalar terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal dgn al-ushul al-arba’ah: al-Qur’an, hadits, ijma’, qiyas). Episteme burhani menegasikan penggunaan logika Aristoteles yg nantinya memunculkan metode deduksi (istintaj; qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan al-maqashid. Tradisi burhani menurut al-Jabiri, menemukan persemaiannya di Magrib (Andalusia, Maroko, Tunisia) dan telah melahirkan tokoh-tokoh spt Ibn Hazm, Ibn Bajjah, Ibn Thufail,al-Syatibi, Ibn Khaldun dan Ibn Rusyd. (al-Jabiri mengeluarkan tokoh2 spt Ibn Masarra, Abu Midyan, Ibn ‘Arabi, dll.-aliran sufisme).