Kamis, 21 Oktober 2010

Mau dibawa kemana Kampus tercinta?

MAU DIBAWA KEMANA KAMPUS TERCINTA?
Oleh: Saifuddin*

Judul di atas bukanlah judul lagu yang dinyanyikan oleh Armada maupun yang lebih dipopulerkan oleh Citra runner up Indonesian Idol, tetapi lebih merupakan refleksi kekhawatiran penulis terhadap orientasi kampus UIN Sunan Kalijaga tercinta. Dengan kata lain, penulis merasa mulai ada 'pembelokan' atau barangkali dalam bahasa keren tapi mengecoh 'improvisasi' terhadap tujuan berdirinya kampus ini.
Kekhawatiran penulis secara khusus tertuju pada dua hal, yaitu tentang sistem penerimaan calon mahasiswa baru dan model penerimaannya khususnya model mandiri. Kekhawatiran yang pertama dikarenakan bahan yang diujikan kepada calon mahasiswa baru terdiri dari empat komponen, yaitu: 1). TPA I, 2). TPA II, 3). TPA III, dan 4). Dirosah Islamiyyah. Penulis memang tidak terlibat bahkan tidak tahu persis dalam penyusunan kebijakan tersebut, tetapi dikarenakan kecintaan penulis terhadap almamater ini, penulis memberanikan diri untuk sekedar mengajak diskusi tentang orientasi kampus ke depan.
Menurut penulis, empat komponen tersebut tidak tepat diterapkan di kampus dengan lima fakultas agama dan hanya dua fakultas umum (bukan berarti penulis ingin mendikotomikan fakultas dan keilmuan menjadi katergori agama-umum), tetapi hanya untuk keperluan mempermudah saja. Barangkali dua fakultas yang penulis sebut umum cukup tepat apabila TPA (Tes Potensi Akademik) yang lebih dominan dalam sistem perekrutan calon mahasiswa baru, tetapi kelima fakultas yang lain sangat sulit untuk mengatakan tepat menerapkan TPA dengan hanya memberi porsi seperempat bagian saja untuk bidang agama (dirosah islamiyyah) yang merupakan konsern utamanya.
Pengalaman tes calon mahasiswa baru kemaren membuktikan bahwa lulusan pondok pesantren yang sudah sangat daqiq (dalam) ilmu agamanya dan bahkan sudah menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik sekalipun, banyak yang berjatuhan alias tidak lulus tes masuk UIN Sunan Kalijaga. Kita ambil contoh Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) di Fakultas Syari'ah dan Hukum yang seharusnya akan menitikberatkan kepada penguasaan kitab kuning justru lebih banyak diisi oleh sekolah umum bahkan STM dan SMK, sementara lulusan pesantren banyak yang ditolak. Hal ini diakibatkan karena calon mahasiswa lulusan pesantren agak lemah di bidang TPA (Tes Potensi Akademik) yang mencapai 75% dari keseluruhan tes calon masuk mahasiswa baru. Apakah kebijakan ini ke depan justru tidak akan mempersulit tenaga pengajar dalam hal transfer of knowledge. Di samping itu, akan timbul rasa pesimis dan misperception di kalangan pesantren terhadap kampus seperti UIN Sunan Kalijaga, padahal menurut mereka, kampus seperti inilah yang linear keilmuanya dengan pondok pesantren.
Pertanyaannya adalah kalau UIN sudah sangat sulit dimasuki oleh lulusan pesantren, kemana lagi mereka bisa melanjutkan kuliah dan dari mana seharusnya sumber utama (main resources) mahasiswa UIN khususnya UIN Sunan Kalijaga. Kalaupun memang tantangan UIN ke depan adalah harus mencari dan menerima calon mahasiswa yang memang memiliki kemampuan potensi akademik baik, maka mestinya hal ini juga disosialisasikan kepada madrasah-madrasah dan pondok pesantren agar mereka juga dapat mempersiapkan siswa dan santrinya mengenai pengetahuan TPA (Tes Potensi Akademik). Kalau tidak, maka kebijakan ini hanya akan melahirkan kedzoliman sistem.
Kekhawatiran kedua yang penulis rasakan adalah sistem atau model penerimaan calon mahasiswa baru mandiri. Model seperti ini tidak hanya karena ke depan dikhawatirkan menjadi jalur by pass menuju komersialisasi lembaga pendidikan dengan memungut biaya pendidikan yang hampir tiga kali lipat dari biaya regular dan memungut semacam uang gedung lima juta rupiah, tetapi juga mempertanyakan kesiapan lembaga dengan adanya mahasiswa mandiri. Apakah dengan memilih jalur mandiri, mahasiswa akan memperoleh pelayanan akademik dan yang lebih penting kualitas pengajaran dan pendidikan yang lebih baik.
Barangkali pelayanan akademik dalam arti adminitrasi akan mudah dirubah karena mind set administrasi di lembaga ini masih sangat dipengaruhi oleh penghargaan (materi) yang diterima. Semakin tinggi penghargaan yang diterima karyawan, maka akan semakin baik pelayanannya. Sebaliknya, semakin rendah penghargaan yang diterima semakin rendah pula kualitas pelayanan yang diberikan. Hipotesis ini mungkin sangat subjektif dan belum tentu benar, tetapi demikianlah yang selama ini dirasakan dan dilihat penulis.
Lalu bagaimana dengan kualitas pengajaran dan pendidikan? Ini tidak mudah dijawab, karena kualitas dosen yang mengajar sama juga dengan kualitas dosen yang mengajar di regular dan kalau demikian halnya mahasiswalah yang dirugikan dengan membayar sejumlah uang jauh lebih banyak tetapi mendapatkan kualitas pengajaran yang sama dengan reguler. Kalau orientasinya adalah kepada go international berarti kemampuan bahasa asing dosen-dosennya juga harus baik. Pertanyaannya adalah apakah dosen-dosen khususnya di jurusan dan atau fakultas yang membuka jalur mandiri memiliki kemampuan bahasa asing yang baik?
Kalau jawabannya tidak, maka cara yang akan ditempuh adalah outsourcing. Namun demikian, kalau kebijakan ini yang ditempuh, penulis meyakini bahwa kebijakan ini akan melahirkan kegelisahan sebagian dosen yang ada di dalam lembaga itu sendiri. Kecemburuan ekonomi pada akhirnya akan melahirkan ketidaknyamanan susasana kerja dan hubungan sosial yang sudah baik terjalin selama ini.
Sisi yang terakhir ini memang tidak terlalu perlu dipersoalkan karena setiap ada pengembangan (baca: revolusi) selalu saja memakan generasi tua. Dalam konteks ini, yang dimaksud generasi tua adalah dosen-dosen yang tidak memiliki kemampuan bahasa asing. Jadi bisa saja umur dan generasi angkatan dosennya sudah senior, tapi karena memiliki kemampuan bahasa asing, mereka tergolong muda. Sebaliknya, meskipun masih muda tapi kalau tidak memiliki kemampuan bahasa asing yang baik juga tergolong generasi tua. Generasi dosen yang tidak punya kemampuan bahasa asing inilah yang akan dilibas oleh perubahan itu.
Kekhawatitan akan dijadikannya ajang komersialisasi juga sangat penting diperhatikan. Jangan sampai dengan adanya peluang dapat membuka jalur mandiri menyebabkan hanya membuka jalur regular dengan porsi yang sangat kecil dengan harapan dapat meraup porsi yang sangat besar di jalur mandiri yang sangat menggiurkan secara finansial. Kebijakan semacam ini pada akhirnya mengakibatkan jumlah bantuan pendidikan dari negara menurun dan itu artinya peluang orang tidak mampu untuk kuliah semakin kecil. Padahal pasca ditetapkannya APBN yang menyebutkan bahwa dana pendidikan harus 20%, Depag dan khususnya Diknas menerima limpahan dana yang luar biasa banyak. Mau dikemanakan dana-dana tersebut, kalau lembaga pendidikan negeri di bawah Depag atau Diknas semua berlomba-lomba membuka jalur mandiri layaknya swasta. Kebijakan ini sangat berpengaruh dalam dua hal, pertama berkaitan dengan social responsibility kampus ini terhadap pemberantasan kemiskinan dan pencerdasan kehidupan bangsa yang adil. Kedua, berkaitan dengan akan munculnya kecemburuan pihak lembaga pendidikan swasta yang barangkali akan menuding lembaga-lembaga pendidikan negeri terlalu rakus. Dari negara masih memperoleh subsidi tapi mahasiswapun juga dibebani biaya yang setara bahkan mungkin lebih mahal dari swasta.
Argumen yang penulis bangun bisa saja salah karena UIN sudah menyiapkan dana beasiswa untuk calon mahasiswa pintar tapi tidak mampu. Dengan kata lain, jalur mandiri hanyalah semacam kebijakan subsidi silang. Namun demikian, hal tersebut juga belum dibuktikan, apakah calon mahasiswa mandiri semua berasal dari keluarga kaya ataukah mereka sebenarnya dari keluarga miskin tapi terpaksa masuk. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut dan mendalam, tidak sekedar memegang prinsip take the cake and strike by stick (ambil kuenya dan pukul pake tongkat).
So, dengan tulisan ini, sebenarnya penulis ingin mengetuk hati dan pikiran para steakholder, pemegang kebijakan, di kampus ini untuk memikirkan ulang dua kebijakan yang penulis paparkan di atas. Apa yang penulis sampaikan bisa saja salah, tetapi karena itu merupakan suara hati, penulis memberanikan diri menyampaikannya melalui tulisan singkat ini. Harapannya apa yang penulis sampaikan tidak terlalu jauh dengan realitas sebenarnya dan semoga tulisan ini menjadi bahan muhasabah terhadap orientasi kampus tercinta ini ke depan. Amin.



*Alumni UIN Sunan Kalijaga tahun 2004 dan sekarang Cados pada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar